Perkawinan

serikat sosial atau kontrak hukum antara orang-orang yang disebut pasangan yang menciptakan kekerabatan
(Dialihkan dari Menikah)

Perkawinan adalah hubungan permanen antara dua orang yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan yang berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku.[1] Bentuk perkawinan tergantung budaya setempat bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan mengenal konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan. Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Ikatan perkawinan yang sah dibuktikan dengan adanya dokumen berupa akta perkawinan[2][3].

Pernikahan Victoria, Putri Mahkota Swedia, dan Daniel Westling; Iring-iringan di Slottsbacken

Etimologi

sunting

Perkawinan adalah kata benda turunan dari kata kerja dasar kawin; kata itu berasal dari kata jawa kuno ka-awin atau ka-ahwin yang berarti dibawa, dipikul, dan diboyong kata ini adalah bentuk pasif dari kata jawa kuno awin atau ahwin selanjutnya kata itu berasal dari kata vini dalam bahasa Sanskerta.[4]

Perkawinan dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia

sunting

Melalui amandemen kedua atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Agustus 2002, hak melaksanakan perkawinan diatur di dalam konstitusi Indonesia. Pasal 28B UUD 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah" menjamin hak masyarakat Indonesia untuk membentuk keluarga melalui perkawinan.[5]

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) mengatur tentang perkawinan, termasuk usia yang diizinkan untuk menikah. Berdasarkan UUP tersebut, usia minimal yang diizinkan untuk menikah adalah 16 tahun bagi perempuan. Dan 19 tahun bagi laki-laki. Namun, dalam kasus khusus, perkawinan di bawah usia tersebut dapat diizinkan dengan persetujuan dari hakim dan orang tua atau wali.

Pada tahun 2019, sebagai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2018 yang memerintahkan perubahan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan,[6] Undang-Undang Perkawinan direvisi dan usia minimal pernikahan dinaikkan menjadi 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan. Revisi ini dilakukan untuk mengatasi masalah pernikahan anak di bawah usia yang rentan terhadap risiko kesehatan, pendidikan terhenti, serta masalah sosial dan ekonomi. Tujuannya adalah melindungi hak anak, mendukung pendidikan, dan mengurangi dampak negatif perkawinan usia muda.[7]

Tujuan perkawinan

sunting
  • Menjaga Diri dari Hal-Hal yang Dilanggar
  • Menjadi Pasangan yang Bertakwa
  • Memperoleh Keturunan
  • Membangun Generasi Beriman[8].

Bentuk perkawinan

sunting
  • Menurut jumlah suami-istri
  1. Monogami (mono berarti satu, gamos berarti kawin) yaitu perkawinan antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan.
  2. Poligami (poli berarti banyak) yaitu perkawinan antara satu orang laki-laki atau wanita dan lebih dari satu wanita atau laki-laki. Dengan kata lain, beristri atau bersuami lebih dari satu orang. Poligami dibagi menjadi dua yaitu:
    • Poligini, yaitu seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang. Poligini sendiri dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
      • Poligini sororat, bila para istrinya beradik-kakak.
      • Poligini non-sororat, bila para istrinya bukan beradik-kakak.
    • Poliandri, yaitu seorang istri bersuami lebih dari satu orang. Poliandri dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
      • Poliandri fraternal, bila para suami beradik-kakak.
      • Poliandri non-fraternal, bila para suami bukan beradik-kakak. Poliandri antara lain terdapat pada orang Eskimo, Markesas (Oceania), Toda di India Selatan dan beberapa bangsa di Afrika Timur dan Tibet[9].

Pembatalan perkawinan

sunting

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembatalan berasal dari kata batal, yaitu menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada. Jadi, pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada. Pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan, pembatalan perkawinan dilakukan pada awal perkawinan, namun apabila setelah 6 (enam) bulan perkawinan tidak memenuhi syarat masih dilanjutkan maka perkawinan tersebut dinyatakan suatu perbuatan yang dilarang keras oleh Allah, ada juga syarat yang memang menjadi putusan sang suami, keburukan untuk bertaubat[10].

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

sunting

Berdasarkan Pasal 23 UU No. 1 tahun 1974, Berikut ini adalah pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan:

  • Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami.
  • Suami dan istri.
  • Siapa saja yang tidak berkepentingan atas kebatalan perkawinan tersebut, termasuk oleh anak-anak dari perkawinan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
  • Pengadilan[11].

Pasal 73 KHI menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:

  • Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami.
  • Suami dan istri.
  • Pengadilan.
  • Syarat perkawinan menurut hukum dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Alasan pembatalan perkawinan

sunting

Untuk Alasan Pembatalan Perkawinan Lihat Pernikahan

Pengajuan pembatalan perkawinan

sunting

Untuk Pengajuan Pembatalan Perkawinan Lihat Pernikahan

Cara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

sunting
  • Anda atau kuasa hukum Anda mendatangi pengadilan agama bagi yang beragama Islam dan pengadilan negeri bagi non-muslim (UU No.7/1989 pasal 73).
  • Kemudian Anda mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada ketua pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang muka biaya perkara kepada bendaharawan khusus.
  • Anda sebagai pemohon, dan suami (atau beserta istri barunya) sebagai termohon harus datang menghadiri sidang pengadilan berdasarkan surat panggilan dari pengadilan, atau dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU No. 7/1989 pasal 82 ayat (2), PP No. 9/1975 pasal 26, 27 dan 28 Jo HIR pasal 121, 124, dan 125).
  • Pemohon dan termohon secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka sidang pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut.
  • Pemohon atau Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
  • Pemohon dan termohon menerima akta pembatalan perkawinan dari pengadilan.
  • Setelah Anda menerima akta pembatalan, sebagai pemohon Anda segera meminta penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan sipil[12].

Batas waktu pengajuan

sunting

Ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk perkawinan Anda sendiri (misalnya karena suami anda memalsukan identitasnya atau karena perkawinan Anda terjadi karena adanya ancaman atau paksaan), pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan Anda masih hidup bersama sebagai suami-istri, maka hak Anda untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1 tahun 1974). Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan perkawinan suami Anda yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan Anda. Kapan pun anda dapat mengajukan pembatalannya[13].

Pemberlakuan pembatalan perkawinan

sunting

Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan Pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya, anak-anak dari perkawinan yang dibatalkan, tetap merupakan anak yang sah dari suami Anda. Dan berhak atas pemeliharaan dan pembiayaan serta waris (pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974)[14].

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah, Recca Ayu Hapsari (2019). Pengantar Antropologi: Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi. Aura Publisher. hlm. 100. ISBN 978-623-211-107-3. 
  2. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-25. Diakses tanggal 2022-07-19. 
  3. ^ http://disdukcapil.landakkab.go.id/docs/permendagri/attachment398.pdf
  4. ^ pondokbahasa (2008-09-14), Apa Bedanya: “Kawin” – “Nikah” – “Married” – “Merit”, diakses tanggal 2010-03-26 
  5. ^ "PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945" (PDF). Lembaran Negara Republik Indonesia. 2002-08-18. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2024-07-15. Diakses tanggal 2024-07-15. 
  6. ^ "PUTUSAN Nomor 22/PUU-XV/2017" (PDF). Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2018-04-05. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2024-07-15. Diakses tanggal 2024-07-15. 
  7. ^ https://amp.kompas.com/tren/read/2021/10/26/110500965/batas-usia-menikah-dan-syaratnya-berdasarkan-undang-undang
  8. ^ https://hot.liputan6.com/read/4581647/6-tujuan-pernikahan-dalam-islam-dan-dalilnya-yang-penting-dipahami
  9. ^ https://www.slideshare.net/LRNurH/macammacam-pernikahanluthfi-rahmwati?next_slideshow=44399950
  10. ^ https://kantorhukum-lhs.com/perkara/pembatalan-perkawinan/
  11. ^ https://www.pa-wamena.go.id/webtes/berita/berita-terkini/137-artikel/154-pembatalan-perkawinan-menurut-bw-dan-uu-nomor-1-tahun-1974#:~:text=Arti%20pembatalan%20perkawinan%20ialah%20tindakan,never%20existed)%5B3%5D.
  12. ^ https://media.neliti.com/media/publications/26758-ID-pembatalan-perkawinan-berdasarkan-undang-undang-nomor-1-tahun-1974-tentang-perka.pdf
  13. ^ https://media.neliti.com/media/publications/339489-pembatalan-perkawinan-oleh-suami-yang-te-72f218ed.pdf
  14. ^ http://agussalim.blog.uma.ac.id/wp-content/uploads/sites/262/2016/12/PEMBATALAN-PERKAWINAN.pdf

Pranala luar

sunting